Ini adalah cerpen berjudul "Cinta yang Tak Sampai" yang saya adopsi dan kembangkan dari puisi "Aku Ingin" karya Sapardji Djoko Damono, sekaligus untuk memenuhi tugas harian dalam mata kuliah Menulis Fiksi.
“Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan
kata yang tak sempat diucapkan
kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.
“Cinta
yang Tak Sampai”
Di
lorong kosong yang lenggang dan sepi. Seorang pemuda berkemeja
cokelat sedang duduk menunduk sambil memegang buku di kedua
tangannya, membuat siapa saja yang melihatnya pasti akan berfikir
bahwa ia mahasiswa yang rajin membaca.
Sudah
dua jam ia tidak beranjak dari tempat itu. Hingga lalu lalang para
mahasiswa, beberapa dosen, dan seekor kucing yang masih tersisa di
kampus sore itu tak membuatnya tergubris untuk merasakan kehadiran
orang sedikitpun. Lalu, tiba-tiba datang seorang pemuda berkacamata
dengan postur tinggi tegap menghampirinya.
"Woy!"
teriak Rafi mengagetkan Danang.
Danang
yang sedari tadi sedang asik dengan kegiatannya itu sontak terkejut
dengan perlakuan temannya yang tiba-tiba datang mengagetkan. Sambil
menutup paksa bukunya danang lalu berdiri.
"Berisik!"
dumelnya sambil mencoba menjauhi jarak duduknya dengan Rafi.
"Baca
buku diperpus, bukan disini. Eh iya lupa. Kamu kan bukan baca buku
ya. Tapi tidur. Tidur sana di kamar jangan di kampus hahaha"
sindir Rafi sambil tertawa melihat sahabatnya yang sedari tadi sudah
melototinya seperti harimau yang siap menerkam mangsa.
"Aku
gak tidur Fi, tapi ketiduran" balas Danang sambil memberi senyum
kecut kepada Rafi.
"Sama
aja! Kamu selalu kayak gitu" kata Rafi, juga membalas senyum
kecut dari Danang, mengetahui bahwa melihat Danang seperti itu bukan
hal yang biasa bagi Rafi. Temannya itu memang selalu menjadikan buku
sebagai alat penghantar tidurnya. Di mana pun.
"Hahaha
terserah kamu deh, Fi. Aku mau ke kantin, lapar" Danang lalu
beranjak pergi dan meninggalkan Rafi yang masih melongo melihatnya.
Tanpa ba bi bu Rafi langsung mengikutinya.
Kantin
sudah sepi, karna jam kuliah memang sudah habis sore itu. Tapi masih
ada beberapa mahasiswa yang masih bertahan untuk tetap tinggal, entah
untuk mengurus sesuatu atau memang masih betah berlama-lama berada di
kampus. (Aku juga tidak terlalu perduli untuk itu, yang jelas aku
lapar dan mau makan)
Danang
memesan nasi campur dengan dua ayam di piringnya, sedang Rafi hanya
memakan gorengan saja karna tidak terlalu lapar katanya. Mereka
menghabiskan makanan sambil bercengkrama, menceritakan apa saja yang
membuatnya lucu sampai tertawa terpingkal-pingkal. Sore itu, Kantin
bu Ijah bagai dunia milik mereka saja. Berdua.
Ketika
dua pemuda itu sedang asik bercerita, terlihat dari jauh sosok
perempuan dengan postur tubuh tinggi kurus yang selalu terlihat manis
dengan wajah datarnya. Mencoba berjalan menuju kantin yang sedang
mereka singgahi saat itu. Sendirian. Danang yang sedang melahap
makanan langsung tersedak ketika mengetahui siapa yang datang.
Cepat-cepat ia meraih gelas yang berisi air dingin untuk diminumnya.
Rafi yang melihat tingkah Danang tersebut langsung menoleh, mencari
objek yang sedang dilihat Danang sampai membuat Danang tersedak dan
langsung menciut tegap.
"Ooooooh
pantesan!" kata Rafi menoleh ke arah Danang. Ia tahu betul
penyebab perubahan tingkah temannya pasti selalu seperti itu ketika
melihat pujaan hatinya ada dihadapannya. Danang yang saat itu hanya
bisa diam tak bersuara cuma bisa mendengar omongan Rafi dan
mengabaikannya, yang ia rasakan saat itu hanya gugup. Itu saja.
Perempuan
itu sudah dekat dari meja tempat mereka makan lalu ia menoleh ke arah
keduanya yang sedari tadi sudah ada di sana melihatnya. Danang yang
hanya bisa diam membisu dengan wajah nan datar itu mencoba melihat
wajah perempuan yang sedang tersenyum kepadanya, sambil berusaha
membalas senyumnya, dan sayangnya gagal. Ia pun langsung tertunduk
malu, sementara Rafi langsung menyapa dan berbasa-basi menawarkan
makan sambil tersenyum kepada perempuan itu.
"Makan,
Mei" sapa Rafi.
"Oh
iya iya makasih, Fi. Udah pesan tuh" jawab Meidi kepada Rafi.
"Gabung
sini" ajak Rafi kepada Meidi sambil menoleh ke arah Danang yang
sudah melototinya sedari tadi, tanda bahwa ia sedang tidak sependapat
dengan apa yang Rafi katakan.
"Boleh
nih? Aku ikut duduk, ya" ijinnya.
Danang
yang sedari tadi tak bersuara akhirnya mencoba berbicara kepada Meidi
dengan penuh nyali. Nyali yang sudah ia kumpulkan dari jauh-jauh
hari, untuk berjaga-jaga jika situasi seperti ini akan terjadi.
"Iya
silahkan, Mei" kata Danang terbata-bata dan mencoba mengulas
senyum kepada Meidi, meski gugup hal itu tak membuat Meidi merasa
aneh. Ia tetap tenang, seperti biasa.
Sore
itu terasa berbeda, cuacanya sejuk namun terasa suhu tubuhku seakan
memanas. Itulah yang dirasakan oleh Danang. Bisa berada disebelah
Meidi adalah hal yang membuatnya merasakan waktu seketika terhenti,
mengambil ancang-ancang untuk berputar kembali.
"Aku
gugup, sialan!" kata Danang ketika Meidi sudah pergi berlalu
meninggalkan kantin dan hilang dibawa petang. Danang dan Rafi pun
pulang.
Sepulang
dari kampus. Sosok yang sedari tadi sudah berhasil memenuhi pikiran
Danang, masih terus mencoba memasuki relung hatinya yang tak jemu
untuk memuja-muji sosok Meidi. Di hadapan laptop dengan sorot lampu
yang membuat wajahnya terlihat semakin bersinar itu, ia menggarukan
kepalanyanya yang tidak gatal. Sekedar untuk mengalihkan pikirannya,
siapa tau sosok perempuan itu bisa hilang. Agar ia bisa fokus untuk
kembali mempelajari materi yang akan ia presentasikan besok. Tapi
lagi-lagi gagal. Akhirnya, Ia tetap bersikeras melanjutkan
pekerjaannya dan membiarkan Meidi untuk tetap tinggal di sana. Di
dalam angan yang sangat dalam.
"Diam
saja disitu, jangan ganggu. Aku mau belajar dulu" batin Danang
kepada sosok yang sedari tadi terus mengganggu pikirannya.
Pagi
itu dengan jas hitam yang dipadukan dengan kemeja putih dan sepatu
pentopel hitam pekat mengkilat. Danang siap untuk memasuki ruang
seminar untuk melakukan pendadaran. Jantungnya tak berhenti berdegup,
karna ia gugup. Tapi parasnya masih selalu sama, ia terlihat gagah
dengan apa saja yang dikenakannya.
Dua jam sudah berlalu.
"Woy!
Selamat ya. Curang nih!" tiba-tiba Rafi datang dan langsung
merangkul Danang yang baru keluar dari ruang seminar. Danang terkejut
dan merasa senang melihat keberadaan sahabatnya itu, yang sepertinya
sudah menungguinya sejak tadi ia memasuki ruangan. Dengan membalas
rangkulan Rafi, Danang terkekeh kecil tanda bahwa hal itu malah
membuatnya haru . Kemudian, beberapa temannya pun ikut memberi ucapan
selamat kepada Danang.
"Selamat
ya, nang",
"Ih,
akhirnya ya, nang",
"Danaaaang,
kamu kok ninggalin".
Itulah
ucapan beberapa teman-temannya kepada Danang. Seperti sebuah
serangan, namun terdengar menyenangkan. Dengan menyimpulkan seulas
senyum, Danang pun berterimakasih dan mencoba menyemangati
teman-temannya untuk segera menyusul.
"Kamu
cari siapa nang?" tanya Rafi saat melihat Danang yang sedang
celingak-celinguk seperti berusaha mencari seseorang.
"Enggak,
bukan siapa-siapa" jawab Danang santai sambil tetap
celingak-celinguk melihat di sekitarnya.
Hari
itu hujan turun, sangat deras. Danang masih berada di kampus,
menyelesaikan beberapa keperluannya yang masih tersisa. Dengan
headset yang menempel di telinganya, ia duduk di bangku lorong yang
saat itu tengah ramai. Berbeda dari sore kemarin saat ia ketiduran.
Tiba-tiba datang pikiran kepada sosok itu lagi. Sosok yang hari itu
ia temui di kantin. Meidi.
"Dia
dimana?" batinnya bertanya.
Meidi
memang selalu berhasil membuat Danang seperti itu, membuat Danang
bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban apa-apa. Bersama deru hujan
yang memburu dan ditemani putaran musik Kiss The Rain milik Yiruma
siang itu, Danang kembali memejamkan mata. Menunduk sambil memegang
buku. Seperti biasa, lagi-lagi ia ketiduran. Sampai tak menghiraukan
ada satu sosok yang tiba-tiba datang, duduk di sebelahnya. Bertahan
sebentar, tidak lama, lalu kemudian pergi lagi.
Hari
itu seakan mewakili keadaan yang sedang Danang alami. Dalam hujan
yang pasti, selalu ada awan yang diam-diam menghilang pergi. Tanpa
sempat pamit untuk menjelaskan sepatah katapun. Ya, setidaknya
memberi jejak agar hujan mampu untuk bertindak.
Bulan
Juni datang, membawa berita liburan semester tiba. Tidak ada pengaruh
untuk itu. Danang juga sudah jarang ke kampus, karena tinggal
menunggu hari wisudanya tiba. Begitu juga Meidi, yang Danang ketahui,
tidak lama dari hari ia melakukan pendadaran, Meidi pun sudah selesai
melaksanakan pendadarannya. Sayangnya, Danang tidak bisa datang pada
hari itu, karna ia sedang ada kerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan.
Danang memang sengaja mengisi waktu kosongnya untuk mengajar dan
memberi les bahasa Inggris kepada anak-anak di suatu instansi yang ia
masuki. Hitung-hitung menambah penghasilan untuk ia bertahan hingga
lulus kuliah, lalu mencari pekerjaan lain jika memang ada nantinya.
Tepat
di hari Senin. Hari yang sudah Danang tunggu-tunggu akhirnya tiba. Di
gedung berwarna biru oren yang selalu menjadi saksi perpisahan para
mahasiswa untuk mengakhiri perjalanannya di perguruan tinggi itu,
terlihat Danang bersama teman-temannya sedang asik mengobrol dengan
penuh semangat. Raut wajah ceria yang terpancar seakan mewakili
perasaan mereka saat itu. Hari itu, Danang terlihat gagah dengan toga
yang dikenakannya. Membuat siapa saja yang melihatnya, pasti ingin
memujinya. Mungkin. (karna aku selalu merasa demikian)
Tak
lama kemudian, Danang mencoba memisahkan diri dari kerumunan
teman-temannya. Lagi-lagi mencoba untuk mencari sosok Meidi yang saat
itu sama-sama ada untuk melakukan wisuda, dan akhirnya ia menemukan
sosok Meidi tepat sedang berada di sebelah seorang lelaki berpostur
tinggi besar yang terlihat sedang merangkulnya. Danang yang melihat
hal itu, tidak merubah nyalinya untuk mendekati Meidi.
"Oh,
ada keluarganya" batin Danang sambil terus berjalan ke arah
mereka.
"Hai,
Mei" sapa Danang kepada Meidi yang terkejut ketika melihat
Danang datang.
"Hei,
Nang" jawab Meidi yang mulai mendekati Danang.
Danang
sudah tidak gugup, kini ia sudah punya banyak nyali sebagai benteng
untuk dijadikan pertahanan keciutannya itu. Mereka pun mengobrol
berdua dengan jarak yang tidak jauh dari keluarga Meidi berada. Tidak
lupa dengan sosok lelaki berpostur tinggi besar yang mulai menampakan
raut wajah ketidaksukannya terhadap Danang, saat melihat Danang asik
mengobrol dengan Meidi. Tapi Danang tidak peduli akan itu.
"Nanti
malem kita mau bikin acara nih! Kamu mau ikut nggak?" ajak
Danang kepada Meidi.
"Wah,
seru nih kayaknya. Ikut ikut" jawab Meidi, sontak membuat Danang
terkejut. Tidak menyangka kalau Meidi mau menerima ajakannya.
"Mau
dijemput? Atau datang sendiri?" tanya Danang lagi, berharap
jawaban kali ini sama dengan jawabannya yang pertama.
"Mmm,
kayaknya aku datang sendiri aja deh. Nanti aku minta di antar aja"
jawab Meidi tersenyum. Tidak usah dijelaskan bagaimana perasaan
Danang saat itu. Ia tampak kecewa namun ia tidak boleh menampakannya,
bagaimanapun ia sudah senang dengan keikutsertaan Meidi yang mau
datang malam nanti.
"Okedeh
kalau gitu, see you" kata Danang sambil tersenyum kepada Meidi
sekalian pamit pergi untuk menghampiri teman-temannya lagi. Meidi
membalas senyum Danang dengan anggukan sambil melambaikan tangan
kepada sosok yang sedang berjalan meninggalkannya itu, hingga Danang
menghilang dikerumunan orang-orang.
Dirumah
Rafi, sudah ada beberapa orang yang datang. Mereka sedang menyiapkan
bahan dan alat yang akan dipakai untuk membakar jagung. Danang malam
itu tampak rapi. Ia memakai baju sweater rajut yang dipadukan dengan
jeans hitam dan sepatu ketnya. Sedangkan Meidi tampak cantik dengan
baju merah maroon yang dipadukan dengan jilbab bercorak bunga dan
celana kainnya, yang membuatnya tampak anggun.
"Nih,
buat kamu" kata Danang sambil memberi jagung bakar yang sudah
matang kepada Meidi.
"Makasih,
nang" Meidi mengambil jagung itu sambil tersenyum.
"Manis.
Selalu manis" gumam Danang yang sedang melahap jagung bakar dan
membuat Meidi bertanya apa yang barusan Danang katakan.
"Enggak,
bukan apa-apa hehe" jawab Danang nyengir. Membuat Meidi tertawa
melihat tingkah Danang yang seperti maling ketangkap basah.
Malam
itu, Danang sudah memiliki rencana untuk memgungkapkan perasaannya
yang sudah ia pendam bertahun-tahun lamanya kepada Meidi. Dan inilah
saatnya.
"Mei"
panggil Danang pelan.
"Iya,
Nang" jawab Meidi yang masih mengunyah jagungnya itu. Danangpun
melanjutkan pernyataannya untuk bertanya kepada Meidi. "Kamu tau
apa yang aku suka dari malam ini?"
"Enggak
tau, memang apa?" tanya Meidi penasaran.
"Kamu
lihat kayu dan api itu?" Sambil menunjuk ke arah api unggun yang
dibakar sengaja sebagai simbol untuk acara malam itu. Lalu
melanjutkan perkataannya. "Mereka bersatu, tapi api malah
membuat kayu itu hangus terbakar. Menjadi abu".
"Kok
kamu malah suka? Bukannya itu menyedihkan?" tanya Meidi tak rela
dengan perkataan Danang.
"Iya,
karna kalau nggak ada kayu. Api nggak akan jadi api. Kayu rela hangus
terbakar sampai padam jadi abu demi api yang menyala" kata
Danang menjelaskan pelan.
"Kayunya
kasihan, Nang. Dia jadi abu gara-gara api" kata Meidi kecewa.
"Ngapain
kasihan? Kan mereka sama-sama padam. Jadi gak ada yang bertahan untuk
tetap ada" Danang tersenyum sambil melihat Meidi. Meidi yang
saat itu terlihat melongo mendengar Danang bercerita lalu ikut
tersenyun saat melihat Danang yang tersenyum kepadanya.
"Aku
juga su.." belum selesai Danang berbicara tiba-tiba Rafi datang
dan langsung memberi tahu kepada Meidi kalau ada yang datang
mencarinya. Meidi pun pergi diikuti Rafi dan Danang yang penasaran
siapa yang mencari Meidi sampai ke sini.
"Kenalin
Fi, Nang. Ini tunangan aku. Sandi" Meidi memperkenalkan lelaki
berpostur tinggi besar yang sudah ada di sebelahnya itu kepada Rafi
dan Danang. Kedua orang itu sontak kaget dan terkejut, sampai
akhirnya tersadar dan menyalami Sandi satu persatu untuk
memperkenlkan diri. Danang sangat hapal dengan orang yang sedang
Meidi kenalkan itu. Ia baru saja melihatnya Siang tadi.
"Oh,
kamu yang namanya Danang" kata Sandi yang membuat Danang dan
Rafi heran mendengarnya. Danang bingung apa maksud dari perkataan
Sandi, yang jelas Danang memang tak pernah ada hubungan apa-apa
dengan Meidi. Hanya sebatas sapa dan kenal. Itu saja. Lalu kenapa
Sandi seakan mengetahui sesuatu hal tentangnya dan itu terkait bahwa
ia adalah tunangan dari seorang Meidi. Sosok yang selama ini ia
khayalkan dan sosok yang berhasil menghancurkan hatinya malam ini.
Duaarrrr!
Bagai bom yang meledak. Hati Danang sungguh tergoncang hingga porak,
tak tau apa yang perlu dijelaskan dan dirasakan. Hanya perih yang
bisa dijadikan keadaan saat itu. Sakit, namun ini kenyataan.
Kenyataan kalau cintanya bertepuk sebelah tangan, kalau cintanya
sungguh-sungguh tak masuk akal. "Kenapa?" Hati Danang
seakan bertanya. "Pengecut!" berkali-kali ia memojokan
dirinya dengan sebutan itu. Lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang
sambil menerawang ke situasi, di mana ia baru saja menjelaskan kepada
Meidi kalau ia menyukai kayu dan api. Kemudian menyadari bahwa kini
yang menjadi kayu itu adalah dirinya, yang Meidi kasihani itu adalah
dirinya, yang menyedihkan itu adalah dirinya, dan kayu yang hangus
menjadi abu itu adalah dirinya. Lagi-lagi Meidi berhasil menjadi api
untuknya. Menghanguskan hatinya yang tak sempat menjelaskan apa-apa.
Kemudian lenyap, begitu saja. Padam menjadi abu dan berubah jadi
debu.
"Meidi,
semoga kamu bahagia" dalam hati Danang berkata sendu, hingga
akhirnya ia tertidur pulas. Meninggalkan seutas harapan-harapan yang
tersisa bersama malam, dengan lepas.
- Aku
*Jika ada kesamaan nama dan tempat saya mohon maaf tidak meminta izin terlebih dahulu, karena memang faktanya itu bukan ketidaksengajaan. Terimakasih:)
Komentar
Posting Komentar